Mempelajari tingkah laku ikan tuna Big Eye sangat penting bagi pemancing. Terutama buat kalian yang mengincar Big Eye YFT sebagai target mancing.
Daftar Isi
Tingkah Laku Ikan Big Eye Tuna
Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di daerah beriklim tropis. Sebagai negara dengan 17.504 jumlah pulau, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dengan 73 % luas wilayahnya adalah lautan. Hal ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara maritim dengan potensi sumber daya laut yang sangat besar.
Salah satu bentuk keayaan sumber daya alam kelautan Indonesia adalah sektor perikanan. Kondisi laut dengan perairan hangat dengan ekosistem yang beraneka ragam membuat Indonesia menjadi salah satu laut yang kaya akan ikan Tuna termasuk jenis Mata Belo yakni Thunnus obesus.
Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) atau lebih dikenal dengan Bigeye Tuna adalah salah satu anggota Famili Scombridae dan merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan tuna yang paling utama di Indonesia selain Tuna Sirip Kuning atau Madidihang (Thunnus albacares) dan Tuna Sirip Biru Selatan (Thunnus maccoyii). Ekspor Tuna Mata Besar pada umumnya dalam bentuk segar dan beku.
Pemanfaatan sumber daya tuna, terutama Tuna Mata Besar sendiri di perairan Samudera Hindia dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2005) mencatat bahwa ada sekitar 6.547 unit kapal tuna longline di Indonesia pada tahun 2003. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan pada tahun 2002 yang hanya berjumlah 2.264 unit. Diduga jumlah kapal tuna longline yang beroperasi di seluruh perairan Indonesia sekitar 1.400 unit, dimana kira-kira 1,200 beroperasi di Samudera Hindia (Pusat Perikanan Tangkap, 2002 dalam Nugraha, 2009).
B. Rumusan Masalah
Fokus permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:
- Bagaimana anatomi dan morfologi ikan tuna mata besar (bigeye tuna)?
- Bagaimana tingkah laku dan kebiasaan hidup ikan tuna mata besar (bigeye tuna)?
- Bagaimana penangkapan ikan tuna mata besar (bigeye tuna) dilakukan dan alat tangkap apa saja yang digunakan?
C. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah:
- Untuk mengetahui anatomi dan morfologi ikan tuna mata besar (bigeye tuna).
- Untuk mengetahui tingkah laku dan kebiasaan hidup ikan tuna mata besar (bigeye tuna).
- Untuk mengetahui cara-cara penangkapan ikan tuna mata besar (bigeye tuna) beserta alat tangkap yang digunakan.
Bab II. Pembahasan
A. Taksonomi Ikan Tuna Mata Besar
Dalam taksonomi, bigeye tuna memiliki klasifikasi sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Superclass : Gnathostomata
Class : Osteichthyes
Subclass : Actinopterygii
Order : Percomorphii
Suborder : Scombroidei
Family : Scombridae
Subfamily : Scombrinae
Genus : Thunnus
Species : Thunnus obesus
Bigeye Tuna (Thunnus obesus) termasuk dalam jenis tuna besar. Bentuk tubuhnya memanjang langsing seperti torpedo. Sirip dada cukup panjang pada individu yang besar dan menjadi sangat panjang pada individu yang kecil. Tapisan insang 20-30 pada busur insang pertama. Dua sirip punggung, sirip punggung kedua diikuti 8-10 jari-jari sirip tambahan. Dua buah lidah (cuping) di antara kedua sirip perutnya. Jari-jari sirip tambahan berjumlah 7-10 di belakang sirip dubur. Sisik-sisiknya halus dan kecil. Pada korselet tumbuh sisik-sisik agak besar dan tebal tetapi tidak begitu nyata. Pangkal ekornya langsing, lunas kuat diapit dua lunas kecil pada ujung belakangnya.
Tuna mata besar memiliki warna bagian atas tubuh hitam keabu-abuan, sedangkan bagian bawah perut berwarna putih. Garis sisinya seperti sabuk berwarna biru membujur sepanjang badan. Sirip punggung pertama berwarna kuning terang, sirip punggung kedua dan sirip dubur berwarna kuning muda. Ikan Tuna Mata Besar memiliki jari-jari sirip tambahan (finlet) berwarna kuning terang, dan hitam pada ujungnya.
Spesies ini mencapai panjang total maksimum 250 cm dengan panjang cagak rata-rata per individunya lebih dari 180 cm. Berat maksimumnya 210 kg (pada usia yang pernah dilaporkan 11 tahun). Pada tahun 1957 pernah dilaporkan di Cabo Blanco, Peru sepanjang 263 cm dengan berat 197,3 kg. Sedangkan pada tahun 1977 di Samudera Atlantik, tepatnya Maryland, USA seberat 170,3 kg dengan panjang cagak 206 cm. Ukuran panjang cagak normal tertangkap antara 40 cm dan 170 cm. Kematangan tampaknya dicapai pada 100 sampai 130 cm di Pasifik Timur dan di Samuder Hindia, dan di sekitar 130 cm di Pasifik Tengah.
Ciri-ciri luar tuna mata besar yang lain adalah:
- Sirip ekor mempunyai lekukan yang dangkal pada pusat celah sirip ekor;
- Pada ikan dewasa, matanya relatif besar dibandingkan dengan tuna-tuna yang lain;
- Profil badan seluruh bagian dorsal dan ventral melengkung secara merata;
- Sirip dada pada ikan dewasa adalah ¼ – 1/3 kali fork length;
- Sirip dada pada anak ikan tuna lebih panjang dan selalu melewati belakang sebuah garis yang digambar di antara tepi-tepi anterior sirip punggung kedua dan sirip anal;
- Ikan-ikan tuna mata besar dengan ukuran lebih dari 75 cm (10 kg) mempunyai sirip dada yang lebih panjang dari pada ikan tuna sirip kuning dari ukuran-ukuran yang sebanding.
B. Tingkah Laku dan Kebiasan Hidup Big Eye
1. Distribusi, Habitat dan Tingkah Laku Renang
Dilansir dari situs www.fishbase.org, lingkungan hidup atau habitat ikan tuna mata besar berada pada kedalaman 0 – 250 m, biasanya 0 – 50 m. Ikan ini juga termasuk ikan pelagis oseanik yang melakukan migrasi ke berbagai perairan samudera. Hidupnya terutama di perairan subtropis, yakni pada lintang 45° LU – 43° LS, serta 180° BB – 180° BT, yang berada pada kisaran suhu 13° – 29° C.
Sedangkan suhu perairan yang optimum bagi ikan tuna mata besar adalah berada pada rentang 17° – 22° C. Hal ini berkaitan dengan kisaran suhu termoklin yang tetap. Bahkan, di perairan Pasifik tropis bagian barat dan tengah, konsentrasi utama Thunnus obesus berkaitan erat dengan perubahan musim dan iklim pada suhu permukaan dan termoklin. Kelompok juvenil dan dewasa kecil dari tuna ini membetuk schooling di permukaan dalam kelompok yang sejenis atau bersama-sama dengan tuna sirip kuning dan/atau cakalang. Gerombolan tersebut dapat berasosiasi dengan benda-benda yang mengambang. Pembentukan gerombolan (schooling) ini biasanya terjadi saat tuna mata besar melakukan migrasi.
Distribusi tuna mata besar di dunia sendiri tersebar di Atlantik, Indian dan Pasifik terutama di perairan tropis dan subtropis, kecuali di daerah Mediterania. Di Indonesia, daerah penyebaran tuna, termasuk tna mata besar, secara horisontal meliputi perairan barat dan selatan Sumatera, selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, Laut Banda dan sekitarnya, Laut Sulawesi dan perairan barat Papua. Ikan betina dewasa lebih banyak ditemukan di perairan tropis. Sementara itu, ikan tuna dewasa ditemukan setiap tahun di daerah sekitar barat dan tengah Samudera Hindia, meskipun juga jarang di bagian timur pada April hingga Desember. Laju tangkap di Samudera Hindia ini sangat rendah pada kedalaman kurang dari 100 m dan meningkat pada kedalaman lebih dari 200 m.
Distribusi ikan tuna di laut sangat ditentukan oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal meliputi jenis (genetis), umur dan ukuran, serta tingkah laku (behaviour). Perbedaan genetis ini menyebabkan perbedaan dalam struktur morfologis, respon fisiologis dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Faktor eksternal yang merupakan faktor lingkungan, di antaranya adalah parameter oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas dan kedalaman lapisan termoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen dan kelimpahan makanan. Suhu dan kedalaman termoklin menjadi faktor utama distribusi vertikal dan horisontal dari tuna mata besar.
Selain itu, salah satu faktor yang menyebabkan penyebaran ikan ini dapat meliputi wilayah geografis yang cukup luas adalah kecepatan renangnya yang mencapai 50 km/jam, serta kemampuannya dalam penyebaran dan migrasi lintas samudera. Ikan tuna mata besar juga memiliki pola tingkah laku renang yang khas berdasarkan kedalaman. Pada malam hari, ikan ini berenang pada lapisan permukaan hingga kedalaman kira-kira 50 m, sedangkan pada siang hari tuna mata besar mampu menyelam hingga kedalaman 500 m.
2. Reproduksi dan Kebiasaan Makan
Dilansir dari situs resmi FAO (Food and Agriculture Organization) A.S, di Pasifik timur beberapa pemijahan telah dicatat pada lintang 10° LU dan 10° LS sepanjang tahun, dengan puncak dari April hingga September di belahan bumi utara dan antara Januari dan Maret di belahan bumi selatan. Disebutkan bahwa Kume (1967) menemukan korelasi antara terjadinya ketidakaktifan tuna mata besar secara seksual dengan penurunan suhu permukaan di bawah 23° atau 24° C. Tuna ini bertelur setidaknya dua kali setahun, jumlah telur per pemijahan diperkirakan 2,9 juta hingga 6,3 juta.
Di Samudera Pasifik, ukuran minimum tuna mata besar pertama kali matang seksual sekitar 100 cm. Sedangkan di Pasifik bagian barat ikan betina 50% bereproduksi dengan ukuran pertama matang seksual adalah 135 cm dan ukuran minimum matang seksual adalah 102 cm. Sedangkan di Samudera Hindia, panjang tubuh (Fork Length) saat matang 50% betina maupun jantan diperkirakan 88,08 dan 86, 85 cm. Dimana rasio kelamin bervariasi setiap bulan dengan selang kelas ikan tuna ukuran kecil (81-115 cm) lebih banyak ikan betina, dan pada ukuran besar (125-155 cm) terdiri dari ikan jantan.
Adapun kebiasaan tuna mata besar dalam mencari makanan adalah dengan cara bergerombol (schooling) yang terdiri dari ikan-ikan dengan ukuran tubuh relatif sama. Pencarian makan tersebut dilakukan baik di siang hari maupun di malam hari, namun lebih aktif di siang hari, sehingga penangkapan di siang hari lebih berhasil dibanding saat penangkapan di malam hari. Pada malam hari, tuna mata besar juga berenang di lapisan tengah untuk menghindari kompetisi makanan. Dalam upaya penangkapan mangsa, ikan ini menggunakan gerakan hebat dalam kolom air. Pergerakan ikan tuna naik turun di kolom air tersebut juga disesuaikan dengan ketersediaan makanan. Tuna mata besar sendiri tergolong karnivora yang makanannya mencakup berbagai jenis ikan, cumi dan udang-udangan. Sedangkan predator utamanya adalah billfish besar dan paus bergigi.
C. Penangkapan Ikan Tuna Mata Balon
Pada penangkapan tuna mata besar dalam skala Internasional, Jepang menempati urutan pertama, diikuti oleh Republik Korea dengan perbedaan yang jauh lebih tinggi. Secara global, penangkapan tuna jenis ini meningkat dari sekitar 164.000 ton di tahun 1974 hingga mencapai 201.000 ton persegi pada tahun 1980, dan mencapai puncaknya sebesar 214000 ton pada tahun 1977 (FAO, 1981). Dari tahun 1981 diperkirakan terjadi penurunan menjadi sekitar 167.000 ton (FAO, 1983). Di Samudera Hindia, penangkapan tuna mata besar didominasi oleh armada Jepang hingga akhir tahun 60-an, tapi kemudian operasi kapal dari Republik Korea menjadi lebih berperan, dan telah menyumbang lebih dari 60% dari hasil tangkapan di akhir 70-an.
Teknik memancing yang paling penting adalah dengan alat tangkap longline (rawai tuna) yang terdiri dari sekitar 400 rangkaian (terdiri dari 5 branch line, dan masing-masing dengan kail berumpan) dan memperluas hingga mencapai 130 km. Spesies yang biasa digunakan sebagai umpan meliputi (dalam bentuk beku) Yellowtail Pasifik (Cololabis saira), Chub mackerel (Scomber japonicus), jack mackerel (Trachurus) dan cumi-cumi. Operasi pada waktu siang dan malam umumnya dilakukan sepanjang tahun, tetapi ada variasi kelimpahan musiman yang jelas nampak dalam perubahan effort. Pada tahun 70-an, longline untuk perairan dalam memasang 10 sampai 15 branch line per rangkaian longline. Jenis baru dari alat tangkap ini secara teoritis mampu memancing sampai pada kedalaman 300 m, dimana biasanya hanya mencapai 170 m dengan alat tangkap longline tradisional.
Tingkat tangkapan meningkat selama sekitar 3 tahun dan kemudian menurun ke tingkat selanjutnya, hal ini menunjukkan bahwa hanya sebagian dari sumber daya tuna mata besar yang dieksploitasi. Tuna mata besar dieksploitasi dalam jumlah yang meningkat sebagai tangkapan lain pada penangkapan pole and line di musim semi dan musim panas di barat laut Pasifik, dan pada purse seine di Pasifik timur, dimana keduanya dioperasikan untuk menangkap cakalang dan yellowfin tuna sebagai tangkapan utama.
Di perairan Samudera Hindia, penangkapan tuna mata besar dengan tuna longline meliputi selatan Jawa Timur, Bali sampai Nusa tenggara. Sebagian dari kapal tuna longline sudah beroperasi hingga sebelah selatan lintang 13° LS atau mencapai wilayah perairan laut bebas (sudah di luar ZEE Indonesia). Daerah-daerah penangkapan tuna mata besar di Indonesia antara lain Laut Banda, Laut Maluku, dan perairan selatan Jawa terus menuju timur serta perairan selatan dan barat Sumatera.
Dalam penangkapan tuna mata besar, baik dengan longline maupun pole and line, umpan menjadi salah satu faktor penting dalam mendukung keberhasilan proses penangkapan. Syarat umpan yang baik adalah mempunyai sisik mengkilat, tidak berlendir, warna punggung gelap kebiruan sedang bagian perut keperakan, tubuh masih utuh dan sisiknya melekat kuat pada kulit, serta mempunya panjang 15 – 20 cm.
Penangkapan tuna di Indonesia pada umumnya dilakukan pada musim-musim tertentu yang berbeda-beda pada tiap daerah. Di Ambon, puncak musim penangkapan terjadi pada bulan Februari-April dan September-Oktober, Ternate pada bulan April-Juni dan September-Oktober, Sorong pada bulan Februari-Juni, Bitung (Aertembaga) pada bulan Maret-Mei dan Agustus-November, barat Sumatera pada bulan September-Desember, serta selatan Jawa antara Mei-Oktober.
Bab III. Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai tuna mata besar bisa ditarik kesimpulan bahwa tuna mata besar (big eye tuna) termasuk dalam famili Scombridae dengan nama ilmiah Thunnus obesus. Secara morfologi bigeye tuna memiliki bentuk tubuhnya seperti torpedo dengan sirip dada yang panjang, finlet berjumlah 8-10 setelah sirip punggung dan 7-10 di belakang sirip yang berwarna kuning terang dan hitam pada ujungnya. Sirip punggung pertama berwarna kuning terang, sirip punggung kedua dan sirip dubur berwarna kuning muda. Bigeye Tuna bisa mencapai panjang 250 cm dengan berat maksimumnya 210 kg (pada usia yang pernah dilaporkan 11 tahun).
Spesies Thunnus hidup di perairan subtropis, yakni pada lintang 45° LU – 43° LS, serta 180° BB – 180° BT, yang berada pada kisaran suhu 13° – 29° C dengan suhu optimum 17° – 22° C pada kedalaman 0 – 250 m. Sedangkan distribusi tuna mata besar di dunia sendiri tersebar di Atlantik, Indian dan Pasifik terutama di perairan tropis dan subtropis, kecuali di daerah Mediterania. Di Indonesia, penyebaran meliputi perairan barat dan selatan Sumatera, selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, Laut Banda dan sekitarnya, Laut Sulawesi dan perairan barat Papua. Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah faktor internal (jenis/genetis, umur dan ukuran, tingkah laku/behaviour), dan faktor eksternal (suhu, salinitas, densitas dan kedalaman lapisan termoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen dan kelimpahan makanan).
Waktu pemijahan tuna mata besar terjadi dari April hingga September di belahan bumi utara dan antara Januari dan Maret di belahan bumi selatan. Tuna ini bertelur setidaknya dua kali setahun, jumlah telur per pemijahan diperkirakan 2,9 juta hingga 6,3 juta. Ukuran minimum tuna mata besar pertama kali matang seksual umumnya sekitar 100 cm.
Tuna mata besar tergolong karnivora yang memakan berbagai jenis ikan, cumi dan udang-udangan dan mencari makanan dengan cara bergerombol (schooling) yang terdiri dari ikan-ikan dengan ukuran tubuh relatif sama. Pencarian makan tersebut dilakukan baik di siang hari maupun di malam hari, namun lebih aktif di siang hari, sehingga penangkapan di siang hari lebih berhasil dibanding saat penangkapan di malam hari. Sedangkan predator utamanya adalah billfish besar dan paus bergigi.
B. Saran
Pengetahuan mengenai tuna mata besar atau bigeye tuna (Thunnus obesus) sangat perlu dikembangkan terutama dalam hal penyebaran atau distribusinya. Sebab dari informasi distribusi dapat diketahui pergeseran tingkat hook rate dari bulan ke bulan atau dari tahun ke tahun. Hook rate adalah jumlah ikan yang tertangkap pada setiap 100 mata pancing terpasang. Semakin besar nilai hook rate, semakin banyak jumlah penangkapan di wilayah tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
Ariyanto, Yosep Heri. 2000. Studi tentang Laju Pancing dan Pola Musim Penangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Perairan Selatan Jawa-Sumbawa, Samudera Hindia (Studi Kasus PT. Sari Segara Utama, Benoa-Bali). Skripsi. Insitut Pertanian Bogor. Bogor
Faizah, Ria. 2010. Biologi Reproduksi Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Perairan Samudera Hindia. Tesis. Insitut Pertanian Bogor. Bogor
FAO. 2013. Thunnus obesus (Lowe, 1839). http://www.fao.org/fishery/species/2498/en. Diakses pada tanggal 03 Desember 2013, pukul 04:50 WIB
Fishbase. 2013. Thunnus obesus (Lowe, 1839). http://www.fishbase.org/summary/Thunnus-obesus.html. Diakses pada tanggal 03 Desember 2013, pukul 06:25 WIB
Murdaniel, Rama Putri Sri. 2007. Pengendalian Kualitas Ikan Tuna untuk Tujuan Ekspor di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zacham Jakarta. Skripsi. Insitut Pertanian Bogor. Bogor
Nugraha, Budi. 2009. Studi tentang Genetika Populasi Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) Hasil Tangkapan Tuna Longline yang Didaratkan di Benoa. Tesis. Insitut Pertanian Bogor. Bogor